Bercermin setelah Mati

Ku menginjakkan kaki di pelataran kampus pascasarjana UGM, bergegas ku lipat jas hujanku dan kuletakkan diatas jok motor.

Hujan rupanya tidak mau berkompromi pada hari pertama ku masuk kuliah di semester ke dua. Kuperas ujung celana panjangku dan kupakai sepatu yang kusediakan di dalam tas plastik berwarna putih. Langit gelap pada saat itu, seperti sudah magrib, padahal hari itu masih menunjukkan pukul 14.

Setelah beres dengan sepatu, ku lanjutkan dengan berlari menuju lantai 4 untuk mengejar kelas yang diampu oleh seorang dosen bernama pak Budiawan yang bersahaja, begitu bersahaja-nya beliau hingga tak enak rasanya untuk melewatkan kelasnya meski untuk sekali saja.

Bau Petrichor sempat menghentikan langkahku ketika melewati bagian selasar, ku nikmati sebentar. Namun naluriku ke toilet lebih besar, ku terpaksa harus beranjak walau hanya untuk sekedar bercermin dan merapikan gaya rambutku yang lepek terkena percikan air hujan. 

Buru-buru aku masuk ke toilet tanpa pikir panjang.

***
Kedua tangan ku masih menyisir rambut ketika mataku ‘freeze’ pada suatu sudut di kaca.

Shi*t!” bisikku lirih,

Hawa dingin merebak dari bagian punggung dan menjalar ke bagian tengkuk,bayangan perlahan menjadi jelas di pantulan cermin. Bau anyir tajam menusuk hidungku.

Siapakah dia?, pikirku dalam hati.

Setelah ku perhatikan,
Rupanya tamu dari kampus fakultas Biologi sedang jalan-jalan dan masuk toilet Laki-laki gedung sekolah Pascasarjana.

Berusia sekitar 30 an tahun, posturnya sudah matang, tanpa busana dengan tubuh tanpa kulit. Hanya rangka yang terbungkus otot-otot yang masih basah. Sepertinya dia wanita cina, bola matanya mendelik tanpa kelopak memandang kearah kaca. Dari bagian belakang tubuhku dia seolah mengikuti gerakanku yang sedang bercermin dan merapikan rambut. Meski kulihat di kulit tengkoraknya hanya ada beberapa helai rambut tersisa, agaknya ia baru selesai dari ritual mandi. Kulirik arah bilik urutan dua dibelakangku keran air masih mengucur dengan bercak noda darah menghitam di seluruh bagian dindingnya. Tentu saja bukan tanda yang bisa dilihat oleh sembarang orang dengan mata telanjang. Persaanku mengatakan ia akan bersarang di tempat ini, karena setelah kuamati dia telah membuat tanda yang berarti teritori. Bagi yang peka pasti akan langsung menyadari dari pengap dan singupnya ruangan ini.





Butuh sekitar satu menit untukku berusaha tenang, mengatur nafas agar seolah aku tidak melihat kehadirannya. Bila dia tau aku dapat melihatnya mungkin dia akan senang dan akan bergentayangan mengusiliku di area kampus. Aku bersikap biasa dan meninggalkan toilet meski tenggorokanku terasa tercekat. Sempat sedikit kulirik ketika menutup pintu toilet ketika tengkorak kepalanya berputar 180 derajat ke belakang.

Hantu-hantu yang penasaran memang kesepian, mereka berusaha agar eksistensi mereka disadari. Hal ini yang tidak disukai oleh orang-orang yang diberi indera ke enam apabila berurusan dengan mereka. Mereka masih saja penasaran dengan masalah mereka yang bahkan sudah terlewat satu tahun, dua tahun lima puluh tahun bahkan seratus tahun setelah kejadian terlewat.

Seingatku dia salah satu hantu legendaris kampus Biologi UGM. Sarangnya di laboratorium Biodas atas, mungkin disitu dulu letak dia digarap dan dijadikan properti untuk sarana ilmu pengetahuan. Tidak ada keluarga yang mencarinya, tidak ada yang mengusut ketika organ tubuhnya diawetkan dengan bahan-bahan kimia. Kini kampus Biologi sedang renovasi besar-besaran. Alat berat dan mesin eskavasi beroperasi meratakan salah satu gedung kampus tertua di UGM, tentunya penghuninya juga turut pindah besar-besaran.
***

Selesai kelas aku melewati lorong itu lagi, keran air di toilet itu sudah mati sepertinya. Kurasa dia bukan tipe usil namun bagi yang peka melihatnya saja sudah sangat mengerikan, OK, which is good, aku tidak harus melakukan apapun untuknya. Waktu sudah menunjukan pukul 16, ku bergegas menuju parkiran. Kurogoh saku celana, ada permen coklat pemberian Kak Mashita tadi  ketika di kelas. Mungkin dia melihatku agak pucat hari itu dan merasa kasihan. Aku bahkan tidak berpikir bahwa ini sesuatu yang berarti, namun segera kupindahkan permen coklat itu ke dalam tas. Rasanya sayang untuk serta merta memakannya, disamping itu aku sedang teringat kejadian kopi Mirna di awal tahun ini. Baiklah saatnya pulang untuk segera tidur awal dan melupakan kejadian hari ini.

0 komentar:

Posting Komentar